Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025 — Di sebuah desa di tepian hutan Kalimantan, suara burung enggang bersahutan dengan langkah kaki seorang perempuan paruh baya yang menyusuri jalan setapak. Di punggungnya tergantung keranjang anyaman bambu, di tangannya sebuah catatan lapangan. Namanya Maria, anggota tim patroli perempuan yang sejak tiga tahun terakhir menjaga batas hutan adat mereka dari perambahan.
“Hutan ini ibu kami,” ujarnya sambil menatap rimbunnya kanopi. “Kalau hutan hilang, air hilang, pangan hilang, kami pun hilang.”
Maria adalah satu dari ratusan warga adat, petani, dan perempuan yang terhubung dengan gerakan KABAR AM1EN—kanal advokasi yang diinisiasi oleh aktivis lingkungan Muhammad Al Amin, atau akrab disapa Am1en. Sejak lama, Am1en bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) membangun jejaring perlawanan terhadap deforestasi, perampasan tanah, dan krisis ekologis.
“Perjalanan ini tidaklah mudah,” kata Am1en, “tapi jelas arah kita: menjaga hutan hujan berarti menjaga kehidupan.”
Ancaman di Bawah Kanopi
Data Global Forest Watch mengungkapkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 292 ribu hektare hutan primer pada 2023—setara dengan ±221 juta ton CO₂ yang terlepas ke atmosfer. Tahun 2024, meski kehilangan berkurang menjadi sekitar 259 ribu hektare, World Resources Institute (WRI) mencatat tren kehilangan hutan primer justru meningkat 27% dibanding 2022, sebagian besar di kawasan lindung.
Bagi Maria dan komunitasnya, angka-angka ini terasa nyata. Sungai yang dulu penuh ikan kini dangkal, sawah-sawah kekeringan di musim kemarau, dan banjir datang lebih cepat saat musim hujan.
Hak Adat yang Tertunda
Hingga 2024, pemerintah baru mengakui sekitar 12 juta acre wilayah adat, sementara ±62,4 juta acre klaim masih menunggu pengakuan. Menurut WALHI, keterlambatan ini membuka ruang bagi masuknya investasi skala besar ke wilayah yang selama ini dikelola turun-temurun oleh masyarakat adat.
“Kami sudah hidup di sini sejak nenek moyang kami, tapi di mata hukum, tanah ini belum diakui milik kami,” ujar Lasan, seorang kepala adat dari Sulawesi Tengah yang lahannya kini terancam oleh konsesi tambang.
Perempuan di Garis Depan
Sebuah studi dalam Ecology & Society menyimpulkan, keterlibatan perempuan meningkatkan keberhasilan konservasi. Di Aceh, tim patroli perempuan berhasil menekan pembalakan liar dan perburuan satwa langka. Di Kalimantan, perempuan memimpin restorasi lahan gambut dengan menanam ribuan bibit pohon rawa.
“Perempuan punya naluri menjaga kehidupan,” kata Nurhayati, koordinator patroli hutan desa di pesisir Kalimantan Timur. “Kalau hutan rusak, dapur kami ikut kosong.”
Kampanye yang Menyala
Melalui KABAR AM1EN, publik diajak tidak hanya menonton video kampanye, tetapi juga menyebarkannya ke komunitas di berbagai daerah. Kontennya memadukan liputan lapangan, data ilmiah, dan kisah nyata warga yang menjaga hutan.
WALHI menyebut kampanye ini tidak berhenti di layar gawai. Aksi di lapangan meliputi:
Pendampingan konflik lahan
Penguatan hutan adat dan hutan desa
Restorasi gambut dan mangrove
Edukasi konsumsi bertanggung jawab
Kawal Sampai Menang
“Ini bukan sekadar menyelamatkan pohon,” kata Am1en. “Ini tentang menyelamatkan manusia.”
Suara burung enggang kembali terdengar di atas kanopi. Bagi Maria, Lasan, Nurhayati, dan ribuan warga lain, hutan hujan adalah rumah, benteng, dan masa depan. Dan mereka akan terus berjalan di jalan setapak itu—mengawal sampai menang.