• Jelajahi

    Copyright © Infoberitanews
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    ULTIMUM REMEDIUM RAKYAT TAMBANG: DARI SAWIT KE BATUBARA, KETIKA PRESIDEN MENJADI SAKSI DIAM PERAMPASAN TANAH RAKYAT

    Jumat, 10 Oktober 2025, Oktober 10, 2025 WIB Last Updated 2025-10-11T00:47:56Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini

     



    Opini Oleh: 

    Muhammad Sirul Haq SH, C.NSP, C.CL

    Direktur LKBH Makassar 

    Advokat dan Konsultan Hukum

    Ketua API - Advokat Pengadaan Indonesia 

    085340100081



    Kronik Penjarahan yang Berubah Nama. Pada mulanya, tanah itu hanya sawah dan kebun sawit. Rakyat menanam dengan tangan sendiri, menunggu buahnya jatuh sebagai rezeki yang halal. Namun pada suatu pagi, papan nama baru berdiri: “Kawasan Industri dan Pembangkit Listrik Tenaga Batubara.”



    Tanah yang dahulu subur kini menjadi kawasan industri. Perusahaan sawit berganti wajah menjadi perusahaan kawasan industri nasional, dengan dalih proyek strategis. Di balik lembaran izin, rakyat menyaksikan tragedi: sertifikat mereka dihapus, SKT dinyatakan tidak berlaku, pemukiman dianggap “mengganggu investasi.”


    Surat HGU dan HGB pun terbit tanpa dasar hukum yang jelas — menggulung hak rakyat seperti ombak memakan pasir.

    Sertifikat yang ditandatangani negara kini dipatahkan oleh negara itu sendiri. Inilah bentuk paling halus dari kolonialisme baru:

    perampasan tanah dengan tinta birokrasi.



    Negara di Balik Bayang-Bayang Hukum, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menulis dengan tegas: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”



    Namun di lapangan, “dikuasai oleh negara” justru menjadi “dijual oleh negara.” Kekuasaan yang semestinya melindungi kini menjadi alat pengalihfungsian. Presiden, yang secara konstitusional memegang mandat tertinggi untuk melindungi rakyat dan bumi, justru menjelma menjadi penonton di panggung korporasi.


    Negara berdalih pada investasi, sementara hukum berfungsi sebagai alat legitimasi penindasan. Pemerintah daerah, kementerian, hingga aparat birokrasi bekerja bagai operator legalisasi perampasan.



    Ultimum Remedium: Ketika Rakyat Menjadi Penegak Hukum Terakhir. Ultimum remedium dalam teori hukum pidana berarti “obat terakhir”, yakni bahwa sanksi pidana hanya digunakan bila seluruh upaya administratif gagal. Namun dalam tragedi tambang dan industri ini, maknanya bergeser: rakyatlah yang kini menjadi obat terakhir bagi luka bangsa.


    Setelah pengaduan ke camat, bupati, BPN, Ombudsman, Komnas HAM, hingga istana tidak membuahkan hasil — rakyat beralih ke jalur hukum. Mereka menggugat, bukan hanya perusahaan, tetapi juga negara.


    Gugatan rakyat adalah bentuk ultimum remedium konstitusional: ketika hukum positif telah membisu, maka nurani hukum rakyatlah yang berbicara.



    Fakta Hukum dan Pelanggaran Administratif. Dalam banyak kasus di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera, perusahaan kawasan industri mengklaim tanah rakyat dengan dasar HGU atau HGB yang tumpang tindih terhadap hak lama masyarakat.


    Padahal menurut hukum positif: Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA): Setiap penguasaan tanah oleh badan hukum wajib memperhatikan kepentingan masyarakat dan tidak boleh menghapus hak rakyat yang sah.


    Pasal 21-26 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai: Pemberian HGU/HGB wajib didahului pelepasan hak dan musyawarah dengan pemegang hak lama.



    Dikuatkan dengan Pasal 67-68 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pemerintah wajib melibatkan masyarakat dalam setiap keputusan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan sosial. Putusan Mahkamah Agung No. 155 K/TUN/2017 menegaskan bahwa penerbitan izin tanpa konsultasi publik dan tanpa kejelasan batas lahan masyarakat adalah bentuk penyalahgunaan wewenang administratif. Serta Putusan PTUN Samarinda No. 19/G/LH/2020/PTUN.SMD juga menegaskan batalnya izin tambang yang menimbulkan kerusakan ekologis dan tidak sesuai dengan prinsip “keadilan lingkungan.”




    Namun, pelanggaran demi pelanggaran ini dibiarkan. Ombudsman RI, dalam temuan tahun 2023, menyebutkan adanya “rekayasa administratif” dalam penerbitan HGU dan HGB di wilayah Proyek Strategis Nasional (PSN). Bahwa sertifikat rakyat dihapus demi kepentingan investasi, dan pelibatan masyarakat hanya formalitas administratif.



    Presiden di Titik Pertanggungjawaban Konstitusional. Presiden, menurut Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi di bawah UUD.

    Dengan demikian, ketika pelanggaran struktural ini terjadi secara sistemik, tanggung jawab politik dan konstitusional berada di pundak Presiden.


    Negara tidak boleh bersembunyi di balik korporasi. Kepala negara wajib memastikan bahwa setiap izin HGU/HGB yang menindas rakyat dibatalkan, dan hak masyarakat dikembalikan melalui mekanisme hukum yang sah. Namun apa daya, suara rakyat sering kali tenggelam dalam laporan proyek dan target investasi.

    Maka ultimum remedium rakyat bukan lagi sekadar gugatan hukum, melainkan seruan moral kepada Presiden: kembalilah menjadi kepala negara, bukan kepala korporasi.



    Ketika hukum lumpuh oleh kekuasaan, rakyat menemukan jalannya sendiri.

    Mereka tidak membaca pasal, tapi membaca penderitaan. Mereka tidak mengutip undang-undang, tapi mengutip langit yang retak oleh debu batubara.


    Namun jangan salah — rakyat juga belajar hukum: Mereka menulis gugatan dengan tangan gemetar, menyebut pasal demi pasal, menulis nama Presiden sebagai tergugat, karena mereka tahu bahwa diamnya negara adalah bentuk kejahatan struktural. Seperti ditulis Satjipto Rahardjo dalam Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan (2007):


     “Hukum bukan hanya kumpulan pasal, tetapi perjuangan untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan yang nyata.”



    Dalam konteks rakyat tambang, perjuangan itu adalah ultimum remedium, tindakan terakhir agar hukum kembali ke manusia, bukan ke modal.



    Ultimum Remedium Sebagai Sumpah. Kini, rakyat berdiri di antara tanah yang direklamasi dan langit yang menghitam.

    Mereka tidak menuntut istana, hanya meminta tanah yang bisa ditanami. Mereka tidak ingin revolusi, hanya ingin keadilan. Namun bila negara terus diam, maka sejarah akan berbicara dengan caranya sendiri. Dan pada saat itu, ultimum remedium rakyat akan menjadi deklarasi baru keadilan Indonesia:


     “Bahwa kami, rakyat daerah tambang, menolak menjadi korban pembangunan yang menindas, dan menuntut kembali hak atas tanah, udara, dan air sebagaimana dijanjikan konstitusi.”




    Karena tanah, pada akhirnya, tidak pernah bisa dibohongi. Ia tahu siapa yang menanam, siapa yang merampas, dan siapa yang akan diadili oleh sejarah. Apakah Presiden sudah tidak memiliki kepedulian ataukah Presiden RI bagaian dari kejahatan itu sendiri?

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini