TAKALAR - Di tengah gencarnya slogan perlindungan sosial dan keberpihakan pada warga miskin, sebuah dapur di Dusun Karepattoddo, Desa Barugaya, Kecamatan Polongbangkeng Timur, Kabupaten Takalar, justru sunyi tanpa asap. Bukan karena pemiliknya sedang diet, melainkan karena memang tak ada yang bisa dimasak.
Siking Dg Se’re, warga setempat yang hidup bersama istri dan seorang anak balita, harus bertahan tanpa memasak selama tiga hari. Ironisnya, Siking dan istrinya diketahui merupakan penyandang disabilitas—kelompok yang dalam banyak dokumen negara selalu disebut sebagai “prioritas”.
Namun prioritas rupanya tidak selalu berarti hadir.
Dalam sebuah video yang beredar luas, Siking menyampaikan kondisi keluarganya dengan suara lirih namun menampar nurani.
“Saya sudah tiga hari tidak memasak, dapat pemberian dari saudara dua liter beras,” ujar Siking, sederhana, seolah kemiskinan adalah sesuatu yang harus ia sampaikan dengan sopan agar tidak mengganggu.
Dua liter beras. Bukan dari negara, bukan dari program, melainkan dari rasa kasihan seorang saudara. Di saat data demi data bantuan sosial diklaim telah terverifikasi berlapis, dapur Siking justru luput dari sentuhan program seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) maupun Program Keluarga Harapan (PKH).
Penelusuran lebih lanjut mengungkapkan bahwa kondisi ini bukan cerita tunggal. Keluarga dekat Siking membenarkan fakta tersebut saat dikonfirmasi.
“Kami sangat kasihan melihat keadaan keluarga kami. Saya juga heran, kenapa ada warga yang kondisinya seperti ini tidak terdata dan tidak menerima bantuan pemerintah,” ungkap salah satu anggota keluarganya.
Keheranan itu terasa wajar. Sebab di atas kertas, negara sangat rapi. Ada DTKS, ada pendamping, ada verifikasi, ada validasi, ada rapat koordinasi. Namun entah di tahap mana, nama Siking Dg Se’re dan keluarganya seolah terselip, terjatuh, atau mungkin tak cukup penting untuk diangkat kembali.
Lebih satir lagi, keluarga ini bukan hanya miskin secara ekonomi, tetapi juga menyandang disabilitas—kategori yang sering menjadi judul seminar, tema peringatan hari besar, dan materi kampanye kepedulian. Sayangnya, ketika kebutuhan paling dasar bernama beras tak tersedia, semua itu terasa seperti slogan yang terlalu tinggi untuk menjangkau dapur warga.
Jika negara hadir lewat formulir, maka keluarga Siking hidup dari empati. Jika bantuan menunggu data sempurna, maka perut menunggu belas kasih saudara. Dan ketika laporan menyebut “bantuan tepat sasaran”, barangkali sasaran itu hanya terlihat dari balik meja.
Kisah Siking Dg Se’re bukan sekadar potret kemiskinan, melainkan cermin tentang siapa yang benar-benar terlihat dan siapa yang sekadar tercatat—atau bahkan tidak sama sekali. Sebab ternyata, di negeri yang kaya program, masih ada warga yang harus berpuasa bukan karena ibadah, tetapi karena lupa didaftarkan.
(BAkri dg ngalle).
