Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan —Kasus dugaan penganiayaan kembali terjadi di wilayah Pulau Badi, Kecamatan Liukang Tupabbiring, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep). Seorang warga lanjut usia, Adam (60), menjadi korban kekerasan fisik yang diduga dilakukan oleh seorang pria bernama Jaya (37), yang juga merupakan warga setempat."06/08/25
Kejadian penganiayaan tersebut berlangsung pada Rabu, 2 April 2025. Berdasarkan keterangan korban kepada pihak kepolisian, peristiwa bermula ketika Adam tengah duduk di pinggir jalan bersama sejumlah warga lainnya sambil bermain ponsel. Secara tiba-tiba, Jaya datang menghampiri, merebut ponsel milik korban, lalu melemparkannya ke tembok, dan memukul bagian dada korban hingga korban mengalami sesak napas.
Kronologi kejadian ini telah dilaporkan secara resmi ke pihak kepolisian dengan nomor laporan LP/B/118/IV/SPKT/POLRES PANGKEP, yang kemudian ditindaklanjuti melalui Surat Pemberitahuan Hasil Penyelidikan (SPHP) nomor LP/B/163/V/2025/SPKT/POLRES PANGKEP.
*Penganiayaan Berulang, Upaya Damai Tak Membuahkan Hasil
Ironisnya, kejadian ini bukan pertama kali terjadi. Menurut penuturan korban, sebelumnya ia juga pernah mengalami pemukulan serupa oleh pelaku. Kasus awal sempat diselesaikan secara kekeluargaan melalui mediasi bersama aparat desa dan Bhabinkamtibmas. Bahkan, korban saat itu menandatangani surat pernyataan damai.
Namun, upaya damai tersebut tak berdampak positif, karena pelaku justru mengulangi kembali tindak kekerasan. Merasa keselamatannya terancam dan tak lagi mendapatkan perlindungan, Adam akhirnya memilih menempuh jalur hukum demi mencari keadilan.
*Saksi Takut Bersaksi, Penyidikan Polisi Terkendala
Meski laporan telah diterima dan penyelidikan telah dibuka, penyidik dari Polres Pangkep mengaku mengalami kendala serius dalam proses hukum, yakni tidak adanya saksi mata yang bersedia memberikan keterangan resmi.
“Kami sudah tindak lanjuti laporan dari Pak Adam. Pemeriksaan terhadap korban sudah kami lakukan, dan kami juga telah mengirimkan undangan klarifikasi kepada beberapa saksi yang disebut. Namun, hingga kini belum ada satu pun yang bersedia hadir atau memberikan kesaksian,” ujar seorang penyidik saat dikonfirmasi media via WhatsApp.
Ketika ditanya apakah visum atau pengakuan pelaku bisa digunakan sebagai bukti hukum, penyidik menjelaskan bahwa keterangan saksi tetap menjadi unsur penting dalam menguatkan alat bukti dalam Pasal 351 KUHP.
“Iya pak, harus ada saksi. Karena kejadian pertama sebelumnya sudah damai, dan ada surat pernyataannya. Kalau sekarang ada saksi lain yang bisa diajukan dan bersedia hadir, tentu akan kami tindak lanjuti. Tapi saksi yang sebelumnya diajukan tidak ada yang mau hadir,” lanjutnya.
*Hubungan Pelaku dengan Kepala Desa Diduga Pengaruhi Keengganan Saksi
Korban Adam mengatakan kepada media bahwa sebenarnya ada beberapa warga yang melihat kejadian tersebut. Namun, mereka takut bersaksi karena pelaku merupakan keponakan dari kepala desa.
“Banyak ji dek yang lihat, tapi semua takut jadi saksi karena dia keponakannya pak desa,” ungkap Adam.
Situasi ini menyoroti persoalan klasik di wilayah-wilayah terpencil, di mana hubungan kekerabatan yang kuat dan ketergantungan sosial membuat masyarakat enggan melibatkan diri dalam proses hukum — bahkan ketika menyaksikan tindakan kekerasan secara langsung.
*Pertanyaan Kritis untuk Penegak Hukum: Menunggu Ada Korban Jiwa?
Media juga mempertanyakan kepada pihak penyidik, apakah harus menunggu jatuhnya korban jiwa untuk menindaklanjuti penganiayaan berulang ini. Dalam pesan media:
“Tabe izin ndam, bukan kami ingin menekan ndam ku, apakah harus ada saksi mata dalam kasus 351? Ini sudah kejadian kedua ndam. Lalu, apakah alat visum dan pengakuan pelaku bukan bentuk bukti untuk menindaklanjuti? Bagaimana jika terjadi pembunuhan jika tidak segera ditangani?”
Pertanyaan ini menggarisbawahi kekhawatiran publik, bahwa jika kekerasan seperti ini tidak segera diproses hukum secara tegas, bisa membuka peluang terjadinya kejahatan yang lebih serius di kemudian hari.
*Pasal 351 KUHP dan Pembuktian yang Rumit
Dalam hukum pidana Indonesia, Pasal 351 KUHP menyatakan:
“Penganiayaan dihukum dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500.000,00,- (empat juta lima ratus ribu rupiah)”
Namun dalam praktik, untuk menjerat pelaku, dibutuhkan bukti yang cukup — termasuk saksi mata. Bukti visum memang penting, namun tanpa dukungan saksi, pembuktian unsur pidana menjadi lemah.
*Harapan Korban dan Dorongan untuk Keadilan
Korban berharap agar pihak kepolisian tetap melanjutkan penyelidikan secara profesional dan tidak berhenti hanya karena ketiadaan saksi. Ia meminta perlindungan hukum sebagai warga negara dan mendorong pemerintah desa serta tokoh masyarakat untuk membantu menciptakan keberanian masyarakat bersaksi tanpa tekanan.
Di sisi lain, kasus ini menjadi peringatan bahwa keadilan bukan hanya soal hukum tertulis, tetapi keberanian semua pihak — dari warga hingga aparat — untuk berdiri bersama korban.
#TeamRed